Jika dirunut pada sejarah masuknya musik rock ke Indonesia, khususnya
Bandung, diawali sejak tahun 70-an. Musik rock yang masuk ke Indonesia
berasal dari Amerika dan Eropa. Pada tahun 50-60an tatanan nilai dan
budaya benua Eropa dan Amerika masih sangat konservatif. Nilai-nilai
budaya baru yang diciptakan para generasi muda pada saat itu dianggap
tabu dan dianggap sebagai ide-ide yang subversif. Pada tahun 50-an para
seniman di Prancis dan Inggris biasa mengekspresikan karya mereka di
subway atau stasiun kereta api bawah tanah. Mereka tidak pernah diberi
akses oleh pemerintah pada fasilitas atau gedung-gedung kesenian pada
saat itu. Karena dinilai karya-karya mereka mengandung muatan-muatan
pemberontakan pada pemerintahan dan dianggap menghujat nilai-nilai
konservatif gereja pada saat itu. Karya-karya yang dipertunjukan pada
saat itu memang hanya diketahui kalangan terbatas. Karya yang diciptakan
pada saat itu menjadi semacam ‘basic’ bagi perkembangan semua karya
seni yang ada sekarang. Dari sinilah istilah ‘underground’ untuk pertama
kalinya muncul.
Underground’ Era Revolusi Industri
Di tahun yang sama juga benua Eropa mengalami revolusi industri. Ketika
sektor-sektor industri di Eropa melakukan transformasi teknologi yang
drastis. Demi efesiensi dan mempercepat kapasitas produksi pasca
berakhirnya perang dunia kedua pabrik-pabrik di Eropa mengganti tenaga
kerja manusia dengan mesin. Hal ini berdampak pada banyaknya
pengangguran dan menimbulkan masalah sosial. Di Inggris lahirlah
kelompok-kelompok buruh yang terkena PHK mengorganisir diri ke dalam
kelompok berbagai organisasi ‘working class’. Dengan dandanan khas
rambut plontos t-shirt putih dan bersepatu boots dr.Martens, setiap
malam mereka menggelar pentas-pentas musik di subway serta melakukan
‘squat’ atau reclaiming terhadap gedung-gedung kosong bergabung dengan
para imigran dari Jamaika, Maroko, dan Afrika. Lirik yang disampaikan
adalah lirik protes terhadap kondisi sosial dan kesetiakawanan. Dari
sinilah muncul proses eksplorasi musik hingga terciptalah musik heavy
yang dipelopori oleh kelahiran band Black Sabbath. Musik yang kelam dan
lirik yang mengekplorasi sisi gelap manusia sebagai penyikapan terhadap
kondisi sosial pada saat itu. Kelompok ini terbagi lagi menjadi beberapa
ideologi. Ada yang cenderung fasis dan ultra nasionalis dan pastinya
jadi rasis. Ada juga yang berideologi kesetaraan dan anarkis. Dari
sinilah lahir budaya ‘punk’ dengan segala macam aktifitas seni dan
gerakan politisnya.
Puncaknya adalah ketika terjadi peristiwa Paris ’68 di Prancis. Pada
saat itu mahasiswa sebagai bagian dari ‘middle class’ atau kaum
intelektual melebur bersama para kaum ‘underground’ dan kaum miskin kota
dalam hal ini korban PHK akibat dampak dari revolusi industri melakukan
demonstrasi besar-besaran menuntut perbaikan ekonomi. Selama
berminggu-minggu mereka membuat barikade di jalan-jalan kota Paris dan
melakukan aksi mogok secara nasional. Hingga akhirnya pemerintah Prancis
melakukan reformasi total di segala bidang. Salah satu alumnus
peristiwa Paris ’68 adalah Malcolm Mc Laren yang jadi manajer band punk
rock kontroversial sepanjang masa, Sex Pistols.
Underground Era Flower Generation
Kondisi di Amerika kurang lebih sama. Di Amerika pada tahun 50-an masih
menganut sistem politik apartheid dan perbudakan. Masyarakat sosial
Amerika pada saat itu terbagi menjadi tiga kelas sosial utama. Kelas
borjuis yaitu kaum pengusaha, birokrat dan agamawan yang cenderung rasis
dan menjunjung tinggi semangat ‘white supremacy’. Kaum tehnokrat yang
terdiri kaum intelektual dan mahasiswa. Kaum buruh yang terdiri dari
budak-budak kulit hitam. Pembagian strata sosial ini membawa dampak pada
pola berkesenian. Pada saat itu para budak kulit hitam yang kebanyakan
berasal dari benua afrika oleh hukum yang berlaku pada saat itu
mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi. Gaji yang tidak sesuai
dengan porsi kerja dan tindakan diskriminatif di segala bidang. Semua
gerak langkah mereka dibatasi hingga menimbulkan rasa frustasi yang
begitu mendalam. Satu-satunya saluran ekspresi mereka adalah lewat media
musik. Mereka biasanya dipisahkan dari lingkungan kulit putih dengan
cara kolonisasi. Dibuatkan area perkampungan yang kumuh atau dikenal
dengan istilah ‘ghetto’ dan sengaja dibuat miskin secara sistematis
hingga menimbulkan kerawanan sosial.
Setiap malam sehabis lelah bekerja mereka biasanya berkumpul dan
memainkan musik. Musik yang diciptakan adalah musik yang sifatnya sangat
personal. Musik yang menjadi ekspresi pribadi dalam mengekspresikan
segala kesumpekan dalam diri. Lahirlah kemudian jazz dan blues. Musik
yang cenderung instrumental. Karena pada saat itu membuat lirik yang
bernada protes sosial apalagi dilakukan oleh kulit hitam merupakan
pelanggaran berat. Mereka membentuk komunitas dan menggelar
konser-konser sederhana di bar-bar kulit hitam. Saling berekspresi dan
mengapresiasi sambil meneriakan protes-protes lewat nada-nada sendu dan
bernuansa kelam. Kalaupun memakai lirik maka pengucapannya dilakukan
dengan cepat, bergumam dan menggunakan ‘bahasa kode’ yang hanya
dimengerti oleh komunitas itu sendiri. Musik yang pada saat itu sangat
diharamkan untuk didengar apalagi dimainkan oleh kaum kulit putih.
Dari sinilah muncul sikap DIY [do-it-yourself]. Para musisi kulit hitam
ini membuat perusahaan rekaman ‘motown records’ yang khusus memproduksi
artis-artis kulit hitam dan mendistribusikannya ke setiap koloni-koloni
yang tersebar di seantero benua Amerika. Mereka membuat jaringan
komunikasi dan media komunitas kulit hitam. Mulai mengorganisir diri
dalam gerakan yang lebih ke arah politis. Salah satunya organisasi
‘black panther’. Lahirlah pionir pejuang-pejuang kemanusiaan yang
mengusung isu kesetaraan hak, diantaranya Malcolm X dan Martin Luther
King. Hingga suatu saat Elvis Presley mendobrak budaya konservatif
tersebut. Diam-diam dia mendatangi bar-bar kulit hitam yang menampilkan
musik blues dan jazz. Dia terinspirasi dari aliran musik tersebut hingga
digabungkan dengan musik country. Lahirlah rock & roll.
Musik yang pada saat itu mengalami penolakan keras dari kaum konservatif
dan kalangan gereja. Rock & roll pada jaman Elvis disebut sebagai
‘musik pemuja setan’. Karena iramanya dianggap mendorong anak muda untuk
berjoget seronok dan membangkang pada orangtua. Ketika Amerika
mengalami krisis ekonomi berkepanjangan akibat perang dunia kedua dan
terlibat dalam perang Vietnam, beberapa kalangan seniman ‘underground’,
kalangan akademisi dan para veteran perang menggelar aksi protes anti
perang Vietnam serta menuntut perbaikan kehidupan sosial dan ekonomi.
Mereka menggelar panggung-panggung festival musik secara besar-besaran.
Contohnya adalah Woodstock pada tahun 1969. Panggung tersebut diisi oleh
artis-artis multi-etnis. Meneriakan semangat yang sama, ‘make peace not
war’. Dari sinilah cikal bakal dari kaum hippies. Kaum ‘flower
generation’ yang sudah bosan dengan segala kebijakan konservatif yang
mereka nilai tidak sejalan dengan semangat perubahan jaman. Namun
kembali gerakan ini tidak berlangsung lama dikarenakan terjadi proses
komodifikasi dan eksploitasi besar-besaran oleh para pelaku industri
mainstream. Terutama industri yang bergerak di bidang hiburan dan
fashion.
Pada akhirnya hanya dua elemen nilai itulah yang ‘dijual’ dan sampai ke
khalayak. Band-band heavy metal pada era itu sudah tidak dianggap
‘underground’ lagi. Beberapa pelaku sub-kultur akhirnya menolak
cara-cara tersebut dan lebih memilih kembali pada jalur ‘underground’
serta mengembangkan sistem mereka sendiri. Pada era 70-an para pelaku
komunitas sub-kultur ini telah mampu menciptakan dan mengembangkan
berbagai penyikapan alternative untuk melawan arus mainstream. Lahirnya
industri indie label yang mengakomodir semangat independensi dan
berbagai macam media independen adalah salah satu contohnya.
Underground Era Orla
Di Indonesia sendiri pada tahun 60-an ketika Soekarno masih berkuasa,
perkembangan musik sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik pada saat
itu. Soekarno yang berkuasa mengambil poros Jakarta-Beijing-Moskow
sebagai garis politiknya di masa perang dingin. Sehingga hal-hal yang
sifatnya berbau Amerika dianggap sebagai sesuatu yang kontra
revolusioner dan bentuk imperialisme budaya barat. Sehingga musik rock
& roll pada saat itu dianggap ‘menyesatkan’ dan ‘kebarat-baratan’
serta dilarang dikonsumsi oleh anak muda Indonesia. Terlepas dari segala
muatannya yang membawa pada semangat perubahan, segala sesuatu yang
datang dari ‘barat’ pasti dilarang. Semua bentuk kesenian haruslah
mengacu pada realisme sosialis dan tidak mengandung muatan borjuisme.
Beberapa band seperti Koes Plus mendapatkan perlakuan represif dari
aparat keamanan. Beberapa radio yang memutar musik rock & roll
ditutup. Petugas keamanan rajin melakukan razia-razia ke tempat
keramaian anak muda. Apabila kedapatan mengenakan setelan ‘barat’ pasti
ditahan. Apabila ketahuan menggelar acara musik rock & roll atau
istilah Soekarno disebut musik ‘ngak-ngik-ngok’ pasti dibubarkan.
Sehingga pada saat itu beberapa musisi lokal menggelar acara-acara
musik rock & roll secara sembunyi-sembunyi. Biasanya mereka
bergerilya dari satu rumah ke rumah yang lain menghindari razia petugas
keamanan. Dari sinilah awal lahirnya istilah ‘underground’ di Indonesia.
Underground Era Orba
Passca Soekarno runtuh dimulailah era orde baru. Segala bentuk kesenian
yang berasal dari barat mulai masuk dan ikut mempengaruhi perkembangan
musik Indonesia. Kebijakan politik yang diambil pada saat itu lebih
mengarah kepada politik pencitraan bahwa Indonesia adalah negara yang
demokratis dan penuh dengan nuansa keterbukaan. Di tahun 1970-an, musik
cadas tidak pernah menyebut dirinya sebagai komunitas musik indie,
mengingat pada saat itu Led Zeppelin, Deep Purple, Black Sabbath, atau
Uriah Heep merupakan komoditas yang dianak-emaskan oleh industri major
label di benua Amerika dan Eropa. Begitu pun dengan musik cadas di
Indonesia semacam Giant Step, God Bless, Superkid, atau SAS yang lebih
suka mengidentifikasikan dirinya sebagai musik ‘underground’. Komunitas
mereka sangat bangga dengan sebutan itu, mengingat tak semua orang suka
akan musik yang kekuatan bunyinya jauh di atas 60 dB atau jauh di atas
batas toleransi pendengaran manusia. Ada semacam pola imitasi yang
berkembang pada saat itu. Terutama dari jenis musik yang dimainkan dan
pola fashion. Sehingga yang terjadi adalah proses imitatif kebudayaan
luar yang datang namun tidak mampu menyerap kondisi realitas yang
terjadi di kultur lokal.
Banyak band Indonesia pada saat itu yang mencoba menjadi Deep Purple,
Led Zeppelin atau Black Sabbath. Mereka benar-benar meniru habis-habisan
apa yang sedang terjadi di luar sana. Namun yang diadopsi hanya sebatas
musikalitas dan fashionnya saja. Sementara isu-isu sosial yang terjadi
pada tingkat lokal sama sekali tidak tersentuh. Mereka lebih memilih
memproduksi karya dengan lirik yang dinilai ‘aman’ dan sebisa mungkin
menghindari konflik dengan pemerintah yang totaliter.
Fenomena yang dihasilkan pada era ini hanyalah fenomena ‘aksi protes’
yang diekspresikan dalam aksi panggung yang kontroversial, pemakaian
obat bius dan seks bebas. Walaupun ada beberapa band yang dianggap
fenomenal pada masa itu namun hanya sebatas di paparan karya musikalitas
dan tidak membawa perubahan secara radikal di tingkat masyarakat.
Sementara stigma seniman di mata para akademisi terutama musisi rock
adalah urakan, tidak mempunyai intelektualitas tinggi, dan bersikap
apolitis. Sehingga muncul kesenjangan persepsi yang sangat lebar antara
musisi dan kalangan akademisi pada saat itu. Sehingga beberapa gerakan
mahasiswa pada saat itu tidak melibatkan musisi secara aktif. Karena
apabila kesadaran untuk melakukan perubahan secara bersama-sama itu
dimunculkan pada saat era tersebut sepertinya reformasi tidak perlu
menunggu hingga tahun 1998. Ada semacam kegagapan dalam menyikapi
realitas perubahan. Di satu sisi kebebasan untuk menyerap segala
informasi dari luar mulai terbuka di sisi yang lain proses pemasungan
terhadap kebebasan berekspresi kembali terjadi, bahkan lebih mengerikan
dibandingkan era Soekarno. Dan itu secara umum kondisi tersebut diterima
begitu saja oleh kalangan musisi pada saat itu. Istilah ‘underground’
pada saat itu mengalami pergeseran makna. Hanya diartikan sebagai musik
‘brang-breng-brong’, aksi panggung teatrikal dan kontroversial serta
komposisi musik yang rumit dipenuh skill-skill tingkat tinggi.
Nilai-nilai perlawanan yang diusung hanya sebatas pada pemberontakan
terhadap nilai feodalistik yang sudah mapan namun tidak secara kritis
mencari alternatif baru dalam menciptakan nilai pembanding dan nilai
tandingan. Baik itu media komunikasi independen maupun sistem ekonomi
tandingan yang dikembangkan. Sehingga yang terjadi adalah gerakan budaya
tandingan yang coba disusun pada akhirnya ikut larut dalam dinamika
budaya mainstream di mana segala sesuatunya hanya berorientasi pada
permintaan pasar [market oriented]. Masa ini berlangsung hingga dekade
tahun 80-an.
‘Underground’ di Ujungberung
Ketika pada tahun akhir 80-an arus globalisasi ikut melanda Indonesia.
Investasi asing mulai masuk seiring dengan masuknya IMF ke Indonesia.
Dan hal tersebut mulai berdampak bagi perkembangan musik ‘underground’
di Indonesia, khususnya di kota Bandung. Arus informasi yang kuat telah
mendorong beberapa majalah dan rilisan kaset ‘underground’ dari luar
negeri mulai masuk dan banyak dikonsumsi oleh musisi di Bandung. Di
Ujungberung sendiri terjadi sebuah fenomena ‘shock culture’ yang hebat.
Ketika lahan-lahan agraris yang produktif disulap oleh para investor
asing menjadi lahan industri yang sarat polutan. Kultur bertani dan
bercocok tanam yang kental dengan nuansa komunal tiba-tiba secara
drastis dirubah menjadi kultur buruh/pekerja yang secara sistematis
diarahkan menjadi mahluk asosial. Hal ini jelas berdampak pada perilaku
masyarakat secara umum. Muncul konflik-konflik kepentingan lokal dalam
menyikapi masalah tersebut.
Pemuda sebagai bagian dari sebuah struktur masyarakat menyikapi masalah
tersebut dengan mencari saluran-saluran ekspresi yang dinilai bisa
mewakili gejolak perasaan mereka. Maka musik metal dijadikan media
berekspresi yang dinilai sesuai dengan kondisi keresahan mereka. Musik
yang cepat, agresif serta lirik-lirik protes yang sarkastik menjadi
pelarian mereka.
Radikalisme Ideologi DIY Ujungberung
Tahun 1989 ada empat band pelopor di Ujungberung yang sudah memainkan
komposisi lagu metal ekstrim semacam Napalm Death, Sepultura, Obituary,
Carcass dan lain-lain. Mereka adalah Funeral, Necromancy, dan Orthodox.
Mereka adalah angkatan pertama di Ujungberung yang mulai menanamkan
radikalisme dalam mengekspresikan karya mereka. Ketika trend festival
musik pada saat itu masih berkutat di hard rock dan slow rock, mereka
dengan berani mengacak-ngacak panggung festival itu dengan komposisi
thrash metal dan death metal. Tampilan fashion yang ofensif dan style
musik yang bising mereka bergerilya dari satu panggung festival ke
festival yang lain mengusung semangat ‘kumaha aing’. Keikutsertaan
mereka dalam festival tersebut lebih mengarah kepada pembuktian
eksistensi dan pernyataan sikap. Mereka mulai memproduksi lagu-lagu
sendiri dengan mengangkat isu-isu sosial yang sedang populis pada saat
itu. Dengan kritis mereka mereka menyikapi kultur festival musik sebagai
bentuk dari pemasungan kreativitas. Parameter penilaian yang justru
pada akhirnya malah mengkerdilkan makna kejujuran dalam berekspresi.
Semangat menurut pasar hanya menciptakan bentuk keseragaman dalam karya
dan pada akhirnya melahirkan kebosanan.
Media-media mainstream pada saat itu hanya menampilkan informasi
musik yang itu-itu saja. Pada tahun 1993 mulailah terbentuk beberapa
komunitas musik ekstrim di Bandung. Mereka rajin membuka ruang-ruang
diskusi menyikapi realitas yang sedang terjadi terutama di tingkat
lokal. Mengorganisir diri ke dalam bentuk komunitas yang mempunyai
kecintaan dan minat yang sama. Saling bertukar informasi dan membuat
workshop media dan eksplorasi teknologi alat musik. Penyikapan konkret
mereka buktikan dengan cara membuat media-media informasi tandingan yang
isinya lebih kepada pengenalan kultur ini kepada khalayak. Dari situlah
maka mereka mulai merambah acara-acara festival musik di kota Bandung.
Dari mulai event ‘agustusan’ hingga pensi-pensi SMA. Pada masa itu sikap
diskriminatif terhadap band ‘underground’ kerap terjadi. Dari mulai
aksi teror secara verbal hingga yang sifatnya fisik. Tidak jarang mereka
harus menerima hinaan ataupun cibiran dari beberapa orang yang tidak
suka atau bahkan yang tidak mengerti sama sekali tentang aliran musik
ekstrim. Band-band yang beraliran punk, hardcore, grindcore dan black
metal kerap mendapatkan perlakukan diskriminatif dari pihak
penyelenggara. Dari mulai jatah waktu tampil yang dikorupsi, perlakuan
pihak sound system yang dengan sengaja mengacaukan setting sound, hingga
terror fisik dari preman lokal yang merasa tersaingi.
Sikap tersebut terbentuk karena tatanan sosial pada saat itu pada
umumnya masih dihinggapi perasaan xenophobia atau selalu merasa khawatir
terhadap nilai dan tatanan baru yang muncul. Mereka selalu merasa bahwa
hal baru sama dengan ancaman baru. Pada saat itu parameter berekspresi
adalah sesuatu yang dapat menembus batasan yang sudah ditetapkan oleh
pihak industri musik mainstream. Paradigma musik yang bagus adalah musik
yang berorientasi pada kebutuhan pasar yang dapat masuk rating televisi
dan menguasai jajaran top-ten radio. Belum terbentuk mental penerimaan
yang baik terhadap hal baru yang dapat menambah khazanah keberagaman,
utamanya di bidang musik. Kondisi nyata seperti itulah yang menjadi
latar belakang komunitas Ujungberung bercita-cita menggelar acara musik
yang konsepnya menampilkan semua jenis musik underground dalam satu
panggung. Terinspirasi oleh pagelaran Hullabaloo #1 pada tahun 1994 yang
sukses digelar di Gor Saparua yang menampilkan musik underground dengan
berbagai macam aliran. Dari mulai hip-hop, grindcore, pop, punk, hingga
musik industrial. Komunitas Ujungberung mengadopsi konsep tersebut
namun format musik yang disuguhkan lebih kepada sajian musik dengan
distorsi tingkat tinggi. Lahirlah acara Bandung Berisik #1 pada tahun
1995 yang melahirkan acara-acara metal legendaris khas ala Ujungberung
seperti Bandung Death Fest, Rebellion Fest, dan Rottrevore Death Fest
yang rutin digelar secara berkala menampilkan band beraliran metal
ekstrim.
Counter Culture
Era 1996 hingga 1997 komunitas musik ‘underground’ di Bandung mengalami
masa perkembangan yang pesat. Konsep kolektivisme dan DIY mulai banyak
direalisasikan dalam berbagai bentuk kegiatan kongkret. Dari mulai
membuat perusahaan rekaman berbasiskan indie label lengkap dengan konsep
distribusi dan promosinya, pembuatan merchandise band, pembuatan media
informasi komunitas berupa fanzine fotokopian, hingga kepada penggarapan
event yang mengandalkan semangat kolektivisme. Jenis karya musik yang
dihasilkan makin beragam dan cenderung makin agresif. Lirik yang
diproduksi mulai banyak menyentuh hal-hal yang sifatnya politis. Banyak
lirik pada saat itu yang bercerita tentang nasib buruh, petani, dan kaum
miskin kota.
Dengan frontal mulai melakukan kritik-kritik terhadap pemerintah yang
dinilai gagal mengatasi krisis. Industri musik mainstream pada saat itu
sedang dilanda kejenuhan pasar. Paska booming Slank dan Iwan Fals pada
saat itu tidak ada lagi fenomena musik yang luar biasa. Media-media
mainstream mulai kehabisan bahan berita hingga akhirnya komunitas
‘underground’ dengan segala bentuk dinamika pergerakannya menjadi bahan
eksploitasi berita. Hampir semua media terutama media cetak mainstream
yang ber-target marketing anak muda membahas fenomena pergerakan musik
‘underground’ terutama yang terjadi di kota Bandung. Hal tersebut jelas
berdampak sangat besar pada perkembangan musik ‘underground’ pada saat
itu yang seolah-olah di-setting menjadi trend musik masa kini. Melalui
peran media mainstream pula hingga akhirnya booming musik ‘underground’
ini mewabah hampir di semua kota besar di Indonesia, utamanya di pulau
Jawa. Lahirlah beberapa komunitas musik ‘underground’ di kota Jakarta,
Bali, Surabaya, Malang, Yogya dan Medan. Beberapa pagelaran bertema
serupa ramai digelar di kota-kota tersebut dalam skala kecil. Di kota
Bandung yang notabene adalah barometer musik ‘underground’ pada saat itu
hampir setiap minggu Gor Saparua menjadi langganan acara-acara musik
‘underground’ yang diorganisir oleh beberapa komunitas di kota Bandung.
Gor Saparua selalu dipenuhi oleh massa ‘underground’ yang rata-rata
berusia belia dari berbagai kota di Indonesia. Ada yang dari Medan,
Jakarta, Surabaya, Yogya, Malang dan kota-kota lainnya. Terjadilah
transformasi informasi dan proses penyerapan kultur.
Dari sinilah awal terbentuknya jaringan komunikasi lintas komunitas
dalam rangka memperluas jaringan. Beberapa komunitas dari luar kota
Bandung dijadikan basis distribusi bagi penyebaran produk dan informasi
yang berkaitan dengan aktivitas sub kultur. Bahkan sekarang sudah
terbentuk jaringan event yang diorganisir secara kolektif yang rutin
menjalin kerjasama penyelenggaraan event ‘underground’. Pada masa itu
lahirlah acara-acara musik seperti Bandung Underground yang di organisir
oleh komunitas Muda-Mudi Margahayu, Gorong-Gorong Bandung diorganisir
oleh komunitas punk P.I., Bandung Minoritas, Campur Aduk dan lain-lain.
Namun pada masa itu pula situasi politik dan ekonomi Indonesia mengalami
guncangan. Masa peralihan kekuasaan yang diwarnai kisruh pertarungan
politik di tingkat elit kekuasaan berdampak besar pada perekonomian.
Tragedi krisis moneter yang mengguncang hebat perlahan ikut membawa
dampak pada perkembangan musik Underground, khususnya di kota Bandung.
Demonstrasi besar-besaran kerap mewarnai jalanan kota Bandung. Daya beli
masyarakat secara keseluruhan mulai menurun dikarenakan harga-harga
kebutuhan pokok melambung tinggi. Hingga pola konsumsi masyarakat pada
saat itu berubah dengan cara mengurangi hal-hal yang dirasa tidak
terlalu penting. Acara yang biasanya ramai dipenuhi oleh penonton lambat
laun mulai sepi pengunjung. Beberapa organiser yang berasal dari
beberapa komunitas independen di Bandung mulai menarik diri untuk
membuat event musik ‘underground’. Di samping tidak mau mengalami
kerugian secara finansial [walaupun pada saat itu dan sampai sekarang
tidak pernah mencari keuntungan], juga disebabkan kendala perijinan yang
semakin represif terhadap hal-hal yang sifatnya mengumpulkan massa
dalam jumlah banyak. Beberapa yang memaksakan diri mengalami kerugian
yang cukup besar dikarenakan sepi penonton atau dengan alasan meresahkan
dan mengganggu ketertiban secara sepihak dibubarkan oleh aparat
keamanan.
Beberapa pelaku subkultur ‘underground’ pada masa itu ikut melebur
bersama beberapa organ buruh dan mahasiswa aktif menggelar aksi-aksi
demonstrasi menuntut perubahan di segala bidang. Pada saat sulit
tersebut justru komunitas Ujungberung banyak mengalami kemajuan yang
signifikan. Banyak band-band baru terbentuk dengan semangat dan
idealisme yang tinggi. Beberapa band seperti Jasad, Sacrilegious, Sonic
Torment, Burgerkill dan Forgotten bahkan telah mampu memproduksi dan
mendistribusikan album perdana mereka secara independen. Pada masa itu
komunitas Ujungberung mulai membangun basis ekonomi komunitas sebagai
bagian dari pemberdayaan ekonomi komunitas dengan cara membangun distro
Rebellion yang khusus menjual produk-produk band Ujungberung dan
komunitas musik lain di Bandung. Semua murni dilakukan atas dasar
dorongan insting untuk bertahan hidup.
Ekonomi Kreatif.
Dinamika pergerakan komunitas ‘underground’ sebagai bagian dari sebuah
sub kultur di Bandung khususnya di Ujungberung ternyata membawa dampak
pada sikap kemandirian ekonomi. Semangat kemandirian atau independensi
yang mereka usung telah mampu menjadi trigger atau pemicu bagi
eksplorasi kreativitas. Tidak hanya di sektor karya musik saja namun
telah meluas pada sektor ekonomi. Spirit pemberontakan yang mereka usung
telah mampu menyelesaikan beberapa persoalan sosial yang ada khususnya
dalam hal penyediaan lapangan kerja. Di komunitas Ujungberung sendiri
sejak tahun 2004 hingga sekarang telah terbangun beberapa unit bisnis
yang berbasiskan komunitas.
Dari mulai usaha sablon, distro, konveksi pakaian, studio rekaman,
perusahaan rekaman indiependen, jasa distribusi, studio rekaman, usaha
penerbitan, toko buku dan usaha warnet. Semuanya murni dikelola oleh
para pelaku komunitas ‘underground’ Ujungberung dan melibatkan tenaga
kerja dari lingkungan yang sama. Beberapa pelaku komunitas ini terlibat
aktif sebagai kru band dan teknisi studio rekording di kota Bandung.
Semuanya saling bersinergi dan menciptakan perbaikan ekonomi minimal
bagi para individu dan internal komunitas. Semua bentuk kreatifitas yang
diusung oleh para pelaku industri kreatif dalam hal ini adalah pelaku
sub kultur telah mampu memberikan ‘wajah’ pada kota Bandung. Beberapa
gelaran event musik yang digelar di Bandung selalu dijadikan tolak ukur
dan parameter perkembangan musik bagi kota lain. Bentuk dan perkembangan
fesyen dikota Bandung selalu menjadi trendsetter bagi perkembangan
industri fesyen di Indonesia. Pada tahun 2008 hingga 2013, kota Bandung
oleh British Council dijadikan proyek percontohan sebagai ‘creative
city’ di kawasan asia pasifik. Sebuah kota yang memang secara budaya
berhasil dibangun citranya oleh komunitas kreatif berbasiskan
indiependen.
Proses pencapaian tersebut dilakukan atas dasar insting untuk
bertahan hidup dalam mensikapi situasi. Jiwa yang kritis dan semangat
‘pemberontakan’ memanfaatkan potensi yang seadanya namun didukung oleh
semangat kolektivisme yang tinggi hingga berhasil mengatasi semua
hambatan yang ada – meski tanpa daya dukung yang kuat dari pemerintah
berupa kebijakan dan fasilitas yang layak untuk mengekspresikan energi
kreatif mereka. Mau didukung atau tidak mereka tidak peduli, karena
secara sistem mereka telah teruji kemandiriannya. Tapi kata kunci dari
segalanya adalah keteguhan prinsip. Panceg Dina Jalur, tidak gamang
menghadapi perubahan. Membaca segala bentuk perubahan sebagai kulit saja
bukan sebuah inti. Sehingga ketika harus menyesuaikan diri dengan
perubahan tak lantas kehilangan diri tenggelam dalam euphoria di
permukaan. Segala pencapaian itu juga harus dikelola dengan sinergi yang
positif antara lahan-lahan garapan kreatifitas, sehingga akan terus
berkembang dan pada gilirannya memberikan hal positif bagi masyarakat
luas.
sumber: http://fajarbrutaldeath.wordpress.com/bahan-ajar/sejarah/awal-perkembangan-musik-underground-indonesia/
Untuk Anda para Pecinta Judi Online, segera bergabung bersama kami S128Cash Bandar Betting Online Indonesia Terpopuler 2019.
BalasHapusSitus ini sendiri juga sudah berdiri sudah cukup lama dan menyediakan semua permainan yang diminati para bettor Indonesia, seperti :
- Sportsbook
- Live Casino
- Sabung Ayam Online
- IDN Poker
- Slot Games Online
- Tembak Ikan Online
- Klik4D
S128Cash juga hadir dengan memberikan berbagai macam BONUS, yaitu :
- BONUS NEW MEMBER 10%
- BONUS DEPOSIT SETIAP HARI 5%
- BONUS CASHBACK 10%
- BONUS 7x KEMENANGAN BERUNTUN !!
Kami tunggu kedatangan Anda ya..
Hubungi kami :
- Livechat : Live Chat Judi Online
- WhatsApp : 081910053031
Link Alternatif :
- http://www.s128cash.biz
Judi Bola
Cara Daftar Judi Bola